Kelompok Kecil di Asrama

Oleh : A. K. Syukri Hadjat

Setiap individu punya kecenderungan untuk hidup mengelompok dalam bentuk makro atau mikro. Setuju atau tidak ini adalah fitrah kemanusiaan (human attitude) yang sudah ada sejak dari sononya. Kebersamaan di Asrama Realino yang berjumlah ratusan mahasiswa berasal dari seluruh penjuru tanah air dengan berbagai suku, agama, clan adat istiadat, jelas merupakan kelompok kecil dalam kehidupan berbangsa. Kalau pinjam istilah Mas Bambang Ismawan…. suatu “Indonesia mini”.

Titik pandang yang ingin ditonjolkan di Asrama Realino adalah tumbuhnya kelompok persahabatan yang sama sekali terlepas dari pengaruh kesukuan, agama, dan adat istiadat. Biasanya, kelompok ini terbatas jumlahnya paling banyak 10 orang clan terkecil 2 orang. Namun uniknya, setiap orang bisa punya dua sampai tiga kelompok atau lebih. Misalnya, di kelompok A dia bergabung karena hobi olah raga dan di kelompok B karena suka pada kesenian.

Angkatan 1958 seluruhnya berjumlah 35 orang, antara lain Ari Sudarsono, Amiruddin, Herman Gadi Djou, Rusdi Wahab, Samsul Hadi, Handjilin, Louis Wangge, Albert Oei, Takai San (Jepang) yang belajar di Fakultas Sastra UGM.

Di angkatan’58 saya akrab dengan Amiruddin, Rusdi Wahab. Louis Wangge. Herman Gadi Djon, dan lain-lain. Tetapi kelompok “pribadi” kami hanya berempat, yakni Soedarto Djacaria, Ari Soedarsono, Wiyoko Munthalib (almarhum). Mas “Jack” dan Mas “W.M.” keduanya angkatan 1956. Mas “Pentul” dan Mas “Soekir” angkatan 1956. Panggilan ini merupakan nick name masing-masing.

Ketika keluar dari asrama Realino semuanya terjun menurut garis tangan masing-masing. “Jack” jadi pejabat di Departemen Perhubungan (terakhir Direktur keuangan Perum Pelabuhan I di Medan). “W. M.” di Departemen Perindustrian (pernah menjabat Direktur P. N. Kimia Cilacap dan wafat sekitar tahun 1985). “Pentul” jadi pejabat di Departemen Kehutanan (terakhir Staf Ahli Menteri) dan saya sendiri jadi wartawan bersama Mas J.B. Soepardjono (almarhum) angkatan 1956. Anehnya, saya dan Mas “Par” membuat kelompok baru setelah di FORSINO. Waktu saya masuk asrama, dia sudah keluar dan tidak sempat kenal. Terakhir dia sebagai wartawan KBN ANTARA.

Apa yang saya rasakan sekarang adalah suatu nostalgia yang mengandung unsur-unsur keharuan dan kebahagiaan. Terharu ketika kita sama-sama “ngepit” dari Demangan ke Fakultas masing-masing dan berbahagia ketika kumpul di Jakarta dan saling berkunjung dengan “ngebil” sambil bawa anak-anak sekeluarga.

Jiwa dan “kelompok kecil” itu, di saat Realino terpaksa ditutup pada tahun 1991 ternyata tidak keluar dari orbit “kelompok besar” yang terwujud dalam FORSINO (Forum Komunikasi Realino) yang langsung dibentuk tahun itu juga.

Sekarang saya rasakan dengan “menghilangnya” satu per satu anggota kelompok itu sesuai kodrat Ilahi maka FORSINO tumbuh semakin kekar sebagai kelompok besar yang tetap menjadi perekat baik dari angkatan 1952 sampai angkatan terakhir 1989.

Terus terang kelompok kita sekarang tidak lagi terbatas dari angkatan masing-masing. Saya merasa damai dengan jiwa Realino Sapientia et virtus, ketika adik-dik bahkan lebih tepat sebagai pantaran anak-anak kami senantiasa menempatkan diri mereka sebagai kerabat sejati yang ikhlas.