55th Wedding Anniversary Pak Titus dan Bu Willie

Sebulan lalu, tepatnya tg 21 Desember 2017 saya menghadiri perayaan ulang tahun pernikahan Pak Titus Kurniadi dengan Ibu Willie yg ke-55. Bersama Pak Uripto (94), Pak Tri Sutrisno (84), Ibu Radius Prawiro (84) dan saya (80), kami diminta menyampaikan kata sambutan dalam acara tersebut.

Karena tidak melihat teman-teman mantan Realino hadir, padahal saya banyak menyebut tentang Realino dalam sambutan itu, maka saya berjanji pada diri sendiri untuk segera menulis tentang acara tersebut kepada para sahabat Forsino untuk diketahui. Namun krn satu dan lain hal, tulisan itu baru bisa saya buat sekarang, yaitu sebulan kemudian.

Terus terang saya sangat kagum pada kekompakan keluarga besar Kurniadi dalam mensukseskan perayaan ini. Hal-hal unik pun ditampilkan, antara lain digelarnya kasur yang mereka beli sejak hari pertama pernikahan (55 th lalu) yang ditata apik di Hotel Mulia yang terasa lebih mewah malam itu. Kepada para hadirin dipersilahkan mengambil gambar dengan memanfaatkan fotografer yang disediakan. Saya ingin potret di situ, tapi tiba-tiba enggan karena Bu Sylvie tidak bisa ikut. Saya pun terharu ketika keluarga inti (putra-putri-cucu) dan aktor utama (Titus-Willie) secara bertahap masuk ruang perhelatan. Diiringi lagu-lagu indah yang saya kenal dengan baik, dan tiba-tiba saja saya ikut bersenandung. Kemewahan dan keindahan dekorasi yang rasakan dan dinikmati para hadirin disempurnakan oleh hadirnya makanan-makanan terbaik dari berbagai penjuru dunia. Wonderful, lezat sekali.

sumber: http://www.thepictures.club/im/BdB-RI2Bbn1
Ibu Titus bersama Ivy Batuta dan Hans Lango, pemandu acara

Mungkin karena paling muda (padahal sebagai mantan Realino termasuk
paling tua), saya diberi kesempatan berbicara paling akhir. Suatu kesempatan merangkum inti sambutan dari pembicara-pembicara sebelumnya dengan perspektif semangat Realino: Sapientia et Virtus (Kebijakan dan Kebajikan). Sudah bisa diduga Pak Uripto yang kenal Pak Titus sejak 50 th lalu berbicara akrabnya menjalin kerjasama di bidang sosial-ekonomi, mulai dengan merenovasi Wisma PGI di Jl Teuku Umar Jakarta, di Puncak dan Salatiga kemudian berbagai upaya pemberdayaan masyarakat di Gunung Kidul dan lain2. Kemudian Pak Tri Sutrisno menggambarkan bagaimana sukses memboyong piala emas kejuaraan dunia bulutangkis di Barcelona melalui tangan Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma. Waktu itu Pak Tri (Wakil Presiden) adalah Ketua Umum PBSI dan Pak Titus Ketua Hubungan Luar Negeri. Sementara Ibu Radius Prawiro mengutarakan peran Pak Titus sebagai pendiri dari Paguyuban Dharma WULAN (Warga Usia Lanjut).

Selanjutnya saya menggambarkan berbagai sukes tersebut berkat tempaan pendidikan di Asrama Mahasiswa Realino. Membandingkan dengan ketika di SMA Kediri yang terasa sangat lokal, di Realino Yogya saya terexpose suasana Indonesia Mini. Saya merasakan cakrawala kebhinnekaan Indonesia, baik suku, agama maupun bidang studi. Waktu itu Realino yang dihuni khusus bagi mahasiswa UGM, dimaksudkan untuk melengkapi kompetensi keilmuan yang dipelajari di Fakultas dg pendidikan kepribadian calon pemimpin bangsa. Latar kebhinnekaan dikelola antara lain dengan menempatkan 3 penghuni setiap kamar tidur yang tediri dari bidang studi, agama dan suku yang berbeda. Sementara untuk merespon minat/hobby para penghuni, disediakan berbagai fasilitas olah raga, kesenian, perpustakaan, kerumahtanggaan dengan pengorganisasian Koperasi, Realino Discussion Club (RDC) maupun keterwakilan kepengurusan dalam penyelenggaraan hidup bersama di Asrama. Semuanya disepakati dikelola dengan peraturan dan disiplin ketat.

Pak Titus (angkatan 1956) belajar ekonomi perusahaan, sedang saya (angkatan 1957) belajar ekonomi pertanian. Kami sama-sama suka berorganisasi dan aktif dlm RDC. Dalam olah raga Pak Titus menyukai bulutangkis, sedang saya suka berenang, sepak bola, volley dan tennis. Dalam kesenian, kami sama-sama lebih suka sebagai penikmat.

Setelah selesai studi kami terjun ke bidang minat masing-masing dan praktis tidak bertemu sekitar 30 tahun. Baru diperertemukan kembali ketika bereaksi terhadap dibubarkannya Asrama Realino oleh pendirinya, Ordo Yesuit, dan menyatukan diri bersama para mantan penghuni Asrama dalam organisasi FORSINO (Forum Komunikasi Realino) yang aktif saling berkomunikasi untuk mengamalkan Sapientia et Vistus.

Rasanya tidak berlebihan mengklaim 3 hal berikut secara langsung dan tidak langsung berhubungan dg latar belakang tersebut.

  • Terkait dg hobby olah raga bulu tangkis, sukses memboyong emas kejuaraan dunia bilutangkis dari Barcelona.
  • Terkait hobby berorganisasi, Pak Titus bersama teman2 mendirikan Paguyuban Dharma WULAN (Warga Usia Lanjut) dengan visi: MANDIRI, TERHORMAT dan BERMAKNA.
  • Setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi 1998, Pak Titus mengatakan kepada saya prinsip baru yang yang dihayatinya: enough is enough! Maksudnya: cukuplah bergiat di bidang ekonomi dan siap menekuni karya-karya sosial. Maka berbasiskan upaya pembangunan sosial yang dikembangkan Bina Swadaya sejak 1967, bersama Pak Titus dan para sahabat, kami mendirikan Koperasi Bina Masyakat Mandiri. Koperasi yang didirikan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda ke-70 (28 Oktober 1998) ini oleh Menteri Koperasi (waktu itu Adi Sasono alm) disebut sebagai Koperasi Penghela, karena bergiat mendukung pembeayaan koperasi-koperasi lain. Selanjutnya kami terlibat dalam Gerakan Global Pengembangan Keuangan Mikro. Mula-mula dengan menghadiri Micro Credit Summit di Washington DC, kemudian mendirikan Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia yang diresmikan di Istana Negara oleh Presiden Gus Dur, diteruskan dengan menyelenggarakan 4 kali Temu Nasional Keuangan Mikro Indonesia dan sekali Asia Pasific Regional Micro Credit Summit. Selajutnya kami juga terlibat dalam petemuan-pertemuan pemberdayaan masyarakat di Pantai Gading (Afrika) India, China, Bangladesh, Jepang, Auratralia dll. Gema PKM berhasil memperjuangkan UU Lembaga Keuangan Mikro dan menyusun Arsitektur Lembaga Keuangan Mikro Indonesia.

Demikian sekilas laporan, oleh Bambang Ismawan (sahabat).